Kamis, 15 Oktober 2009

Pengenalan Diri (Part 2)

C. SDM yang harus dima’rifati

Berbicara tentang SDM yang harus dima’rifati (dikenali) dalam pandangan kaum sufistik, tentunya kajian kita harus berawal dari proses kejadian manusia secara umum, hingga ada yang disebut sebagai manusia pertama yakni “Adam AS”. Proses penciptaan manusia yaitu melalui proses keterlibatan Tuhan, dan bersama selain-Nya yaitu dengan keterlibatan Ibu dan Bapak. Keterlibatan Ibu dan Bapak mempunyai pengaruh menyangkut bentuk fisik dan psikis anak. Kecuali diri Adam AS. Kejadiannya tidak melibatkan unsur ibu dan bapak.

Alquran tidak menguraikan secara rinci proses kejadian Adam AS. Oleh mayoritas ulama menamakan sebagai manusia pertama. Yang ada hanya; bahwa awal manusia adalah tanah. Bahan tersebut kemudian disempurnakan. Setelah proses penyempurnaannya selesai, ditiupkan kepadanya Ruh Ilahi Allah SWT.

Berikut analisis ilmu kedokteran dipadukan konsep Alquran serta pandangan filosof muslim tentang proses kejadian manusia :


  1. Air mani sebagai hasil perpaduan antara sel sperma laki-laki yang kemudian bercampur/bersenyawa dengan sel ovum dari perempuan, kemudian air mani memancar dan mengendap didalam rahim ibu selama 40 hari lamanya, itulah disebut sebagai kehidupan yang pertama.

  2. 40 hari kemudian tetesan air mani tersebut berproses, lalu menjadi segumpal darah dan gumpalan darah itu kemudian mengendap selama 40 hari lamanya, maka akan menjadi segumpal daging.

  3. 40 hari gumpalan daging ini kemudian berubah menjadi kehidupan yang nyata, dapat dideteksi dan dapat dirabah. Itulah saat dihembuskannya Ruh.

  4. 120 hari lamanya kemudian janin dalam kandungan mengalami hidup atau sudah ada hayat dikandung badan.

Sampai pada proses yang ke-4 maka ditiupkanlah ruh kedalam diri manusia sebagai pertanda ia hidup, maka kemampuan manusia dan para ilmuwan tidak dapat lagi memberikan penjelasan secara ilmiah maupun secara medis. Allah SWT berfirman : “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah ruh adalah urusan Tuhan-ku, kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit sekali.”

At-Rirmidzi berpendapat, bahwa jiwa manusia terbagi 2 bagian; yakni jiwa lahiriah bersifat tidak baik dan juga tidak buruk, akan tetapi tergantung kepada faktor yang mengalahkannya. Adapu jiwa batiniah merupakan substansi dari sesuatu.

Atas dasar ini, kaum sufi membagi kekuatan/daya yang terdapat didalam diri manusia menjadi; jiwa, ruh, hati, dan al-Qalbu(yang harus dikenali). Mayoritas kaum sufi melihat jiwa sebagai sumber dan pusat syahwat, kelezatan serta sumber dari perilaku tercela. Dan melihat ruh sebagai sumber kehidupan serta perilaku terpuji. Sedangkan hati menurut mereka merupakan tempat mengenal/ma’rifat dan as-sirru (kesadaran tertinggi(fuad) sebagai tempat al-Musyahadah (kesaksian).

D. Pembinaan Melalui Zuluk dan Tarekat

Pengertian tarekat secara bahasa (etimologis) kata “tarekat” berasal dari bahasa Arab “thariq” atau “thariqah” atau dalam bentuk jamaknya thara-iq yang berarti jalan, tempat lalu lintas, aliran, mazhab, metode, mode atau sistem. Kemudian kata thariqah dalam bahasa Arab ini dibakukan dalam bahasa Indonesia menjadi “tarekat”.

Pengertian tarekat secara etimologis dalam kamus diantaranya :
Tarekat berarti jalan, mode, cara, metode, prosedur, sistem persaudaraan keagamaan.
Tarekat berarti jalan, cara atau aturan hidup.
Tarekat berarti jalan, lorong,gang, cara, metode, sistem, mazhab, aliran, hukum, keadaan.
Tarekat berarti perjalanan hidup, hal, mazhab, metode, jalan, tempat lalu.
Tarekat berarti jalan, tempat lalu, perjalanan hidup, hal, mazhab, metode.

Jika digabungkan pengertian-pengertian dari kamus tersebut maka akan menjadi; Tarekat adalah sebuah jalan hidup seseorang dalam rangka menuju kebenaran. Jalan yang dimaksud bukanlah dalam bentuk materi seperti jalan raya melainkan merupakan jalan agamis Islami dalam rangka menuju kebenaran yan hak (perjalanan spritual kaum sufi).

Pengertian tarekat secara terminologis menurut para ahli mengemukakan definisinya masing-masing tentang tarekat, seperti :

Harun Nasution; bahwa tarekat berarti jalan yang harus ditempuh seorang sufi dalam tujuan berada sedikat mungkin dengan Tuhan. Tarekat kemudian mengandung arti organisasi, tiap tarekat mempunyai Syekh, upacara ritual dalam bentuk zikir sendiri.

E. St. Harahap; bahwa tarekat adalah jalan menuju kebenaran, ilmu kebajikan agama, persaudaraan dalam kebatinan pada kerohanian.

Abu Bakar Adjeh; bahwa tarekat artinya jalan, petunjuk dalam melaksankan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi Saw. dan dikerjakan oleh sahabat dan tabi’in, turun temurun sampai kepada guru secara sambung menyambung dan rantai berantai. Atau suatu cara mengajar atau mendidik, kemudian berkembang menjadi sebuah kumpulan kekeluargaan yang mengikat penganut kaum sufi yang sepaham dan sealiran, agam memudahkan menerima ajaran-ajaran dan latihan-latihan dari para pemimpinnya dalam suatu ikatan.

H. A. R. Gibb; bahwa tarekat adalah suatu cara pisiologi moral sebagai pengendalian diri secara praktis dari individu-individu yang disebut mistik.

Syekh al-Jurjani; bahwa tarekat adalah jalan atau tingkah laku tertentu bagi orang-orang yang berjalan (beribadah) kepada Allah SWT. dengan melalui pos dan meningkat ketingkatan yang lebih tinggi yaitu station-station (maqam).

Pengamal tarekat biasa disebut dengan salik. Sedangkan perbuatannya disebut zuluk. Artinya perjalanan menuju kepada Allah SWT.

Orang yang dalam proses zuluk dapat dibedakan kedalam tiga fungsi, yaitu :

Menghasilkan pengalaman batin yang kian mendalam dan pandangan keakhiratan yang terarah.
Mendapatkan pemahaman mendasar dan ahlak terpuji.
Mendapatkan jiwa yang ikhlas dan akal yang jernih.

Sebagaimana dijelaskan Imam al-Ghazali bahwa zuluk adalah proses pendidikan budi pekerti, perbuatan dan pengetahuan. Proses ini meliputi pensucian lahir dan batin. Seluruh perbuatan hamba yang menjalani zuluk selalu tertuju kepada Allah SWT. dengan cara mensucikan hati sebagai persiapan mencapai derajat wushul (sampai pada Allah SWT).



Penulis :
HADARAH RAJAB
Diketik ulang :
RAHIM PULUNGAN

Download Artikel Ahlak Sufi disini