Kamis, 29 Oktober 2009

Riyadhatun Nafs (part 1)

1. Pengertian Riyadhatun Nafs

Riyadha qalbiyah (latihan rohani) sebagai langkah awal melatih hati melalui serangkaian amalan peribadatan. Sebab diri manusia telah diasuh dalam pangkuan tabiat, disusui dengan air susunya. Karena itu ia akrab dengan kelezatanna, sehingga kebangkitan menjadi sulit baginya, perjalanan menjadi mustahil, bila dapat bangkit itu merupakan mukjizat.

Riyadhatun Nafs adalah upaya atau latihan sekuat tenaga untuk menolak atau mematikan rangsangan hawa nafsu setan dengan cara-cara tertentu yaitu: Bila ingin mendapatkan dan melihat Allah SWT. dengan penglihatan tertutup (mata batin), kurangilah aktivitas kemudian mulailah berkonsentrasi kepada Allah SWT. sedikit demi sedikit yaitu:

Pertama; secara bertahap mengurangi makan, karena vitalitas wujud, nafsu setan bersumber dari makanan, bila makanan sudah dikurangi, maka kekuatan (kekuasaan) makanan itu pun akan mengecil. Dan pada tahap inilah disebut kalangan sufi sebagai proses penyucian dan pembersihan hati atau takhally.

Kedua; meninggalkan ikhtiar (praferrence) dan menyerahkan kepada seorang syekh (guru spritual) agar dia dapat memilihkan yang terbaik untukmu, seorang murid (salik) pada dasarnya seperti bayi dan orang bodoh, mereka membutuhkan seorang wali (mursyid) bertanggung jawab atas diri mereka. Dan pada tahap ini kaum sufi menyebutnya sebagai proses pengisian hati yang telah bersih atau tahally.

Ketiga; melalui tarekat (cara tertentu menuju Allah SWT). ketiga langkah ini masih sebagai latihan pembersihan hati (riyadha). Dan sasarannya yaitu menanamkan nilai kebaikan semata (tajally).

Yahya ibn adzar-Razi r.a. berkata, “perangilah nafsu anda dengan ketaatan dan riyadha (latihan rohani). Riyadha itu adalah mengurangi tidur, sedikit bicara, menanggung derita dari gangguan orang lain, dan sedikit makan. Dari kurangi tidur dihasilkan kejernihan keinginan. Dari sedikit berbicara dihasilkan keselamatan dari segala penyakit. Dengan menanggung derita akan dicapai segala tujuan. Dari sedikit makan akan dihasilkan kekerasan hati dan kehilangan cahayanya. Cahaya hikmah adalah lapar, sedangkan kenyang akan membuat jauh dari Allah SWT. sebagaiman sabda Rasulullah Saw. “terangilah kalbu kalian dengan lapar. Perangilah nafsu kalian dengan lapar dan dahaga, kekalkanlah perlindungan di pintu surga dengan lapar. Sebab, pahala di dalam hal itu adalah seperti pahala orang yang bererang di jalan Allah SWT. ketimbang lapar dan dahaga orang yang memenuhi perutnya tidak akan masuk ke kerajaan langit dan tidak merasakan manisnya ibadah.

2. Makna Riyadhatun Nafs

Allah SWT. Berfirman kepada Musa a.s. “Wahai Musa, jika engkau menginginkan agar aku lebih dekat kepadamu daripada ucapanmu kepada lidahmu; daripada bisikan hatimu kepada kalbumu; daripada cahaya penglihatanmu kepada kedua matamu; dan daripada pendengaranmu kepada telingamu, maka perbanyaklah shalawat kepada Muhammad saw.

Allah SWT. Berfirman “Hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok. (yakni telah anda kerjakan untuk hari kiamat).

Hendaknya diketahui, nafsu ammarah bi as-su’ (nafsu yang mengajak pada kejahatan) adalah lebih besar permusuhannya kepada anda daripada iblis. Setan hanya berani kepada anda karena hawa nafsu dan syahwat. Jangan sampai hawa nafsu anda memperdayakan anda dengan angan-angan dan tipuan. Sebab, tabiat nafsu adalah merasa aman dan lalai kepada Allah SWT., menunda-nunda perbuatan baik, dan malas. Ajakan semua itu adalah batil dan masing-masing merupakan tipuan. Jika anda senang kepadanya dan mengikuti perintahnya, niscaya anda binasa. Jika anda lupa mengawasinya, niscaya anda tenggelam didalamnya. Jika anda tidak mampu mengingkarinya dan mengikuti rayuannya, niscaya ia menggiring anda kedalam neraka. Nafsu tidak dapat dikembalikan pada kebaikan. Ia merupakan induk segala bencana dan aib. Ia adalah khazanah iblis dan tempat berlindung segala kejahatan yang tidak diketahui kecuali oleh penciptanya. Takutlah kepada Allah SWT. adalah Mahatahu terhadap apa yang anda kerjakan, baik berupa kebajikan maupun kejahatan.

Diriwayatkan, Malik ibn Dinar berjalan-jalan dipasar Basrah. Lalu, ia melihat buah tin dan sangat menginginkannya. Ia pun melepaskan sandalnya dan memberikannya kepada kepada tukang sayur, lalu berkata, “berikan kepada saya buah tin itu.”. melihat sandal itu, tukang sayur berkata, “Nilai sandal ini tidak sebanding sedikitpun dengan harga buah tin.”. Malik pun pergi. Lalu, seseorang bertanya kepada tukang sayur, “tidakkah anda mengenali siapa orang itu ?.”. Tidak jawabnya. “Ia adalah Malik ibn Dinar, “orang itu memberikan penjelasan. Tukang sayur itu pun memberi sepiring buah tin yang dibawa diatas kepala budaknya. Ia berkata kepada budaknya, “jika ia menerima ini darimu, kamu merdeka.”. lalu, budak itu berlari mengejar Malik ibn Dinar. Budak itu berkata kepada Malik, “terimalah ini dari saya.”. Akan tetapi, Malik menolak. Lalu, budak itu berkata lagi, “terimalah ini dari saya, sebab disitu terdapat kemerdekaan saya.”. “Jika disitu terdapat kemerdekaanmu, disitu pula terdapat azab untukku “ kata Malik ibn Dinar kepada budak itu. Budak itu terus mendesaknya. Malik lantas berkata, “aku telah bersumpah untuk tidak menjual agama dengan buah tin dan tidak memakan buah tin hingga hari kiamat,”.

Dikisahkan, Malik ibn Dinar jatuh sakit. Sakit itulah yang menyebabkan kematiannya. Sebelumnya, ia sangat menginginkan segelas madu dan susu untuk dicelupkan padanya roti panas. Lantas, pelayannya datang membawa apa yang diinginkannya. Malik ibn Dinar berkata, “duhai diri engkau telah bersabar selama 30 tahun dan tersiksa umurnya sesaat.”. kemudian ia melemparkan gelas yang ada ditangannya. Menahan nafsunya, dan kemudian meninggal dunia. Demikian keadaan para nabi, para wali, para shiddiqun, para pecinta Allah SWT. dan orang-orang zuhud.

Sulayman ibn Dawud a.s. berkata,”orang yang mengalahkan nafsunya lebih kuat daripada orang yang menaklukan satu kota.”

Ali ibn Abi Thalib berkata, “aku dan nafsuku hanyalah seperti pengembala domba. Setiap kali ia mengmpulkan domba-domba disatu sisi, maka domba-domba itu berpencar ke sisi yang lain. Barangsiapa yang mengendalikan hawa nafsunya, ia dibungkus dengan kain kafan Rahmat Allah SWT. dan dikubur didalam tanah kemuliaan. Sebaliknya, barangsiapa yang melalaikan kalbunya, ia dibungkus dengan kain kafan laknat dan dikubur didalam siksaan,”.



Penulis :
HADARAH RAJAB
Diketik ulang :
RAHIM PULUNGAN

Download Artikel Ahlak Sufi disini

Riyadhatun Nafs (part 2)

3. Taubat dan Hakekatnya

Dalam perjalanan menuju Allah SWT. (zuluk, tariqah) terdapat beberapa tingkatan atau maqam. Setiap tingkatan dicapai melalui taubat terlebih dahulu. Cara bertaubat dapat dipelajari dari orang-orang yang mengetahui bagaimana taubat itu dilakukan. Dan orang yang diminta petunjuk tentang cara-cara bertaubat harus tergolong orang yang selalu bertaubat. Taubat yang benar adalah langkah pertama yang perlu dilakukan sebelum memulai berjalan menuju Allah SWT. Friman-Nya : “Ketika orang-orang kafir menanamkan kekosongan dalam batin mereka, yaitu kekosongan jahiliyah, kemudian Allah SWT. merupakan ketengan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang mu’min dan Allah SWT. mewajibkan kepada mereka kalimat taqwa, dan mereka berhak dengan hakikat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah SWT. Mahamengetahui segala sesuatu”.

Hati harus terlebih dahulu dibersihkan dari segala yang mengganggu. Pengganggu hati yang pertama adalah tuntutan dalam diri terhadap kebendaan dan keinginan hawa nafsu. Dialah yang selalu mencemarkan hati. Apbila hati telah bersih, niscaya manusia akan mencari jalan menuju kepada Allah SWT. ketika itu hatinya akan dipenuhi dengan takut kepada Allah SWT., takwanya akan terlihat dari segala gerak-geriknya, karena katakutannya itu telah menariknya dekat kepada Allah SWT. Kini ia akan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik saja. Apabila hatinya teringat pada perbuatan yang jahat, tentu sifat takutnya akan menghalngi dan mengingatkannya tentang balasan Allah SWT. dalam keadaan seperti inilah taubatnya akan berkesan dan kemudian menjadi tawbatan nasuha.

Mukmin itu harus meninggalkan tabiat yang terdahulu dan bergerak kearah Tuhannya. Selagi dia mengikuti jalan yang biasa, yakni jalan tabiatnya yang dahulu, niscaya dia akan terjerumus kedalam pengaruh-pengaruh negatif yang akan mencelakakannya. Dia akan kembali berbuat dosa dan kesalahanyang sudah biasa ia lakukan, karena tabiat sudah melekat pada dirinya. Dosa yang terus-menerus dilakukan itu melanggar perintah syari’at, dan perintah syari’at juga merupakan perintah Allah SWT.

Shalat adalah menghadirkan diri kepada di hadapan Allah SWT. Bersuci dan berada dalam keadaan suci merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan sebelum melaksanakan ibadah shalat. Orang yang bijaksana mengetahui bahwa kebersihan secara zahir saja tidak cukup. Allah SWT. melihat jauh kedalam hati (jiwa dan ruh) manusia. Dan hati perlu disucikan. Penyucian dilakukan dengan salah satu jalan adalah bertaubat, adapun cara bertaubat hanya dalam keadaan suci, shalat yang kita lakukan akan diterima Allah SWT.

Allah SWT. berfirman :”Dan bertaubatlah (kembalilah) kepada Allah SWT. wahai orang-orang yang beriman sekalian, mudah-mudahan kamu akan beruntung.” Dan Allah SWT. juga berfirman :”Inilah yang dijanjikan kepadamu, yaitu bagi setiap hamba yang selalu kembali bertaubat (bertaubat sebenarnya kepada Allah SWT) lagi memelihara (semua peraturan-peraturannya)”.

4. Sabar dan Hakekatnya

Pengertian sabar. Menurut pendapat kaum sufi; sabar merupakan media yang paling ampuh dalam memberikan terapi pada penyakit jiwa, sabar buat si penderita itu menjadi obat jiwa. Seperti yang dikatakan oleh Hamdan al-Qishar, “Seseornag tidak akan mengeluh atas musibah kecuali yang menuduh Rabb-nya,”. Allah SWT. berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, sabarlah kalian dan saling bersabarlah.

Alquran mengajak orang-orang mukmin untuk menghiasi diri dengan sabar karena didalamnya terdapat faedah yang besar dalam mendidik jiwa dan memperkuat pribadi (jati diri), menambah kemampuan seseorang memikul kesulitan, menghadapi problematika hidup dan bebannya, benda-benda zaman dan musibah-musibahnya dan untuk membangkitkan kemampuan-kemampuan untuk melanjutkan perjuangan dalam meninggikan kalimat Allah SWT. firman-Nya, “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Dan sesungguhnya orang demikian itu sungguh berat, kecuali orang-orang yang khusyu’”. Demikian pula firman Allah SWT. “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga(diperbatasan negerimu) dan bertawaklah kepada Allah SWT. supaya kamu beruntung”.

Orang mukmin yang sabar tidak merasa sakit saat memjumpai rasa sakit, tidak lemah, dan tidak pla jatuh jika menderita akan musibah-musibah zaman dan bencana-bencananya, karena Allah SWT. telah memerintahnya dengan bersabar dan memberitahunya bahwa apa yang menimpanya dalam kehidupannya didunia hanyalah ujian dan cobaan dari Allah SWT. guna mengetahui orang-orang yang sabar diantara kita.

Firman Allah SWT. “Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar diantara kamu, dan agar Kami menyatakan (baik-buruknya) hal ihwal”.

Firman Allah SWT. “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengatakan “Inna Lillahi Wa Inna Illahi Raji’un.” Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”.

Hakekat Sabar

Allah SWT. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungghunya Allah SWT. beserta orang-orang yang sabar”.

Kesabaran itu ada 3 yaitu; sabar dalam ketaatan kepada Allah SWT; sabar terhadap hal-hal yang diharamkan Allah SWT; serta sabar atas musibah dan ketika mendapat goncangan jiwa. Yang terakhir inilah yang paling utama.

Diriwayatkan dari Nabi Saw. bahwa beliau bersabda. “Allah SWT. berfirman: “Tidak ada hamba yang ditimpa bencana lalu bergantung pada-Ku, melainkan Aku memberinya sebelum ia memohon kepada-Ku, dan aku mengabulkannya sebelum ia berdoa kepada-Ku. Tidak ada hamba yang ditimpa bencana lalu bergantung pada mahluk selain Aku, melainkan Aku menutupkan baginya pintu-pintu langit.

Al-Junayd al-Baghdadi r.a. berkata, “Bencana adalah pelita para ‘Arif, pengingat para murid, kebaikan bagi kaum Mukmin, dan kebinasaan bagi orang-orang yang lalai. Seseorang tidak merasakan manisnya keimanan sebelum ditimpakan kepadanya bencana, sementara ia merasa senang dan bersabar.”

Oleh karena itu, kedudukan sabar bagi manusia seperti kedudukan kepala bagi tubuh, tidak dikatakan beriman orang yang tidak sabar, seperti halnya tidak disebut tubuh bagi orang yang tidak punya kepala.

Rasulullah SAW. bahwa Allah SWT. berfirman,”Jika kamu melihat seorang hamba Allah SWT. yang tertimpa musibah pada tubuh, harta benda, atau anaknya, kemudian dia menghadapinya dengan kesabaran, maka Aku (kata Allah SWT.) akan membebaskannya dari timbangan amal dan penghakiman di hari akhirat.



Penulis :
HADARAH RAJAB
Diketik ulang :
RAHIM PULUNGAN

Download Artikel Ahlak Sufi disini

Kamis, 15 Oktober 2009

Pengenalan Diri (part 1)

A. Pengertian Ma’rifat

Ma’rifat adalah kedekatan (qurb) itu sendiri, yaitu yang menguasai hati dan memberikan pengaruh didalamnya dengan sesuatu yang berpengaruh terhadap anggota-anggota badan. Sebuah contoh, ilmu seperti melihat api, sedangkan ma’rifat adalah seperti merasakannya.

Ma’rifat secara bahasa (etimologis) pengetahuan Ilahi. Ma’rifat adalah cahaya yang disorot pada hati siapa saja yang dikehendaki-Nya. Inilah pengetahuan hakiki yang datang melalui “penyingkapan” (kasyf), “penyaksian” (musyahadah), dan “cita rasa” (dzawq). Pengetahuan ini berasal dari Allah SWT.

Jadi ma’rifat berati ilmu yang tidak menerima keraguan. Secara terminologi, ma’rifat adalah ilmu yang didahului oleh ketidaktahuan. Didalam istilah sufi, ma’rifat berarti ilmu yang tidak menerima keraguan apabila objeknya adalah dzat dan sifat-sifat Allah SWT. Ma’rifat dzat adalah mengetahui bahwa Allah SWT. Ada, Maha Esa, Maha Tunggal, Dzat Maha Agung, yang berdiri sendiri dan tidak ada yang menyerupai. Ma’rifat sifat adalah engkau mengenal bahwa Allah SWT. Maha hidup, Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Mendengar, Maha Melihat, dan sifat-sifat lainnya.

Al-Junayd berkata hajat hikma pertama yang dibutuhkan oleh hamba adalah ma’rifat mahluk terhadap Khalik. Mengenal sifat-sifat pencipta dan yang tercipta bagaimana ia diciptakan. Sehingga diketahui sifat pencipta (Khalik) dari mahluk.

Apa tanda-tanda ma’rifat ?!, tanda-tanda ma’rifat adalah hatinya telah hidup bersama Allah SWT. Allah SWT mewahyukan kepada Nabi Daud, tahukah kamu, apakah ma’rifat itu ?. daud menjawab “Tidak”, Allah SWT. berfirman, “ialah hati yang hidup ketika melihat-Ku.

B. Cara Menuju Ma’rifat

Meskipun mata tertidur, niat dan cita-cita untuk mencapai ma’rifat itu ada didalam hati, kemudian ma’rifat tersebut hendaknya dicari dengan kebenaran hati dan pikiran sehingga Tuhan memberikan karunia-Nya yang terbesar kepadanya.

Ma’rifat tidak dapat dibeli atau dicapai melalui usaha manusia. Ma’rifat adalah anugerah dari Allah SWT. setelah seseorang berada pada tingkatan ma’rifat. Si “Arif(ahli ma’rifat) akan mengenal rahasia-rahasia Allah SWT. Allah SWT . memperkenalkan rahasia-rahasia-Nya kepada mereka hanya apabila hati mereka hidup dan sadar, melalui zikrullah, dan hati memiliki bakat, hasrat dan keinginan untuk menerima rahasia ketuhanan. Sebagaimana yang pernah disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw. bahwa “Mataku tidur tetapi hatiku senantiasa terjaga”.

Abu Yazid al-Bisthamy ditanya “dengan apa engkau mencapai ma’rifat ?” dia menjawab melalui perut yang lapar dan tubuh yang telanjang.

Al-Junayd menyatakan, “seorang ‘Arif tidak akan menjadi ‘arif sampai dia menjadi seperti bumi diinjak oleh orang yang baik maupun jahat, dan sampai dia menjadi seperti awan; menerangi semua mahluk, dan sampai dia menjadi seperti hujan; menyirami segala sesuatu, baik yang mencintainya maupun yang membencinya”.



Penulis :
HADARAH RAJAB
Diketik ulang :
RAHIM PULUNGAN

Download Artikel Ahlak Sufi disini

Pengenalan Diri (Part 2)

C. SDM yang harus dima’rifati

Berbicara tentang SDM yang harus dima’rifati (dikenali) dalam pandangan kaum sufistik, tentunya kajian kita harus berawal dari proses kejadian manusia secara umum, hingga ada yang disebut sebagai manusia pertama yakni “Adam AS”. Proses penciptaan manusia yaitu melalui proses keterlibatan Tuhan, dan bersama selain-Nya yaitu dengan keterlibatan Ibu dan Bapak. Keterlibatan Ibu dan Bapak mempunyai pengaruh menyangkut bentuk fisik dan psikis anak. Kecuali diri Adam AS. Kejadiannya tidak melibatkan unsur ibu dan bapak.

Alquran tidak menguraikan secara rinci proses kejadian Adam AS. Oleh mayoritas ulama menamakan sebagai manusia pertama. Yang ada hanya; bahwa awal manusia adalah tanah. Bahan tersebut kemudian disempurnakan. Setelah proses penyempurnaannya selesai, ditiupkan kepadanya Ruh Ilahi Allah SWT.

Berikut analisis ilmu kedokteran dipadukan konsep Alquran serta pandangan filosof muslim tentang proses kejadian manusia :


  1. Air mani sebagai hasil perpaduan antara sel sperma laki-laki yang kemudian bercampur/bersenyawa dengan sel ovum dari perempuan, kemudian air mani memancar dan mengendap didalam rahim ibu selama 40 hari lamanya, itulah disebut sebagai kehidupan yang pertama.

  2. 40 hari kemudian tetesan air mani tersebut berproses, lalu menjadi segumpal darah dan gumpalan darah itu kemudian mengendap selama 40 hari lamanya, maka akan menjadi segumpal daging.

  3. 40 hari gumpalan daging ini kemudian berubah menjadi kehidupan yang nyata, dapat dideteksi dan dapat dirabah. Itulah saat dihembuskannya Ruh.

  4. 120 hari lamanya kemudian janin dalam kandungan mengalami hidup atau sudah ada hayat dikandung badan.

Sampai pada proses yang ke-4 maka ditiupkanlah ruh kedalam diri manusia sebagai pertanda ia hidup, maka kemampuan manusia dan para ilmuwan tidak dapat lagi memberikan penjelasan secara ilmiah maupun secara medis. Allah SWT berfirman : “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah ruh adalah urusan Tuhan-ku, kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit sekali.”

At-Rirmidzi berpendapat, bahwa jiwa manusia terbagi 2 bagian; yakni jiwa lahiriah bersifat tidak baik dan juga tidak buruk, akan tetapi tergantung kepada faktor yang mengalahkannya. Adapu jiwa batiniah merupakan substansi dari sesuatu.

Atas dasar ini, kaum sufi membagi kekuatan/daya yang terdapat didalam diri manusia menjadi; jiwa, ruh, hati, dan al-Qalbu(yang harus dikenali). Mayoritas kaum sufi melihat jiwa sebagai sumber dan pusat syahwat, kelezatan serta sumber dari perilaku tercela. Dan melihat ruh sebagai sumber kehidupan serta perilaku terpuji. Sedangkan hati menurut mereka merupakan tempat mengenal/ma’rifat dan as-sirru (kesadaran tertinggi(fuad) sebagai tempat al-Musyahadah (kesaksian).

D. Pembinaan Melalui Zuluk dan Tarekat

Pengertian tarekat secara bahasa (etimologis) kata “tarekat” berasal dari bahasa Arab “thariq” atau “thariqah” atau dalam bentuk jamaknya thara-iq yang berarti jalan, tempat lalu lintas, aliran, mazhab, metode, mode atau sistem. Kemudian kata thariqah dalam bahasa Arab ini dibakukan dalam bahasa Indonesia menjadi “tarekat”.

Pengertian tarekat secara etimologis dalam kamus diantaranya :
Tarekat berarti jalan, mode, cara, metode, prosedur, sistem persaudaraan keagamaan.
Tarekat berarti jalan, cara atau aturan hidup.
Tarekat berarti jalan, lorong,gang, cara, metode, sistem, mazhab, aliran, hukum, keadaan.
Tarekat berarti perjalanan hidup, hal, mazhab, metode, jalan, tempat lalu.
Tarekat berarti jalan, tempat lalu, perjalanan hidup, hal, mazhab, metode.

Jika digabungkan pengertian-pengertian dari kamus tersebut maka akan menjadi; Tarekat adalah sebuah jalan hidup seseorang dalam rangka menuju kebenaran. Jalan yang dimaksud bukanlah dalam bentuk materi seperti jalan raya melainkan merupakan jalan agamis Islami dalam rangka menuju kebenaran yan hak (perjalanan spritual kaum sufi).

Pengertian tarekat secara terminologis menurut para ahli mengemukakan definisinya masing-masing tentang tarekat, seperti :

Harun Nasution; bahwa tarekat berarti jalan yang harus ditempuh seorang sufi dalam tujuan berada sedikat mungkin dengan Tuhan. Tarekat kemudian mengandung arti organisasi, tiap tarekat mempunyai Syekh, upacara ritual dalam bentuk zikir sendiri.

E. St. Harahap; bahwa tarekat adalah jalan menuju kebenaran, ilmu kebajikan agama, persaudaraan dalam kebatinan pada kerohanian.

Abu Bakar Adjeh; bahwa tarekat artinya jalan, petunjuk dalam melaksankan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi Saw. dan dikerjakan oleh sahabat dan tabi’in, turun temurun sampai kepada guru secara sambung menyambung dan rantai berantai. Atau suatu cara mengajar atau mendidik, kemudian berkembang menjadi sebuah kumpulan kekeluargaan yang mengikat penganut kaum sufi yang sepaham dan sealiran, agam memudahkan menerima ajaran-ajaran dan latihan-latihan dari para pemimpinnya dalam suatu ikatan.

H. A. R. Gibb; bahwa tarekat adalah suatu cara pisiologi moral sebagai pengendalian diri secara praktis dari individu-individu yang disebut mistik.

Syekh al-Jurjani; bahwa tarekat adalah jalan atau tingkah laku tertentu bagi orang-orang yang berjalan (beribadah) kepada Allah SWT. dengan melalui pos dan meningkat ketingkatan yang lebih tinggi yaitu station-station (maqam).

Pengamal tarekat biasa disebut dengan salik. Sedangkan perbuatannya disebut zuluk. Artinya perjalanan menuju kepada Allah SWT.

Orang yang dalam proses zuluk dapat dibedakan kedalam tiga fungsi, yaitu :

Menghasilkan pengalaman batin yang kian mendalam dan pandangan keakhiratan yang terarah.
Mendapatkan pemahaman mendasar dan ahlak terpuji.
Mendapatkan jiwa yang ikhlas dan akal yang jernih.

Sebagaimana dijelaskan Imam al-Ghazali bahwa zuluk adalah proses pendidikan budi pekerti, perbuatan dan pengetahuan. Proses ini meliputi pensucian lahir dan batin. Seluruh perbuatan hamba yang menjalani zuluk selalu tertuju kepada Allah SWT. dengan cara mensucikan hati sebagai persiapan mencapai derajat wushul (sampai pada Allah SWT).



Penulis :
HADARAH RAJAB
Diketik ulang :
RAHIM PULUNGAN

Download Artikel Ahlak Sufi disini